Don't Show Again Yes, I would!

Ia Si Tanpa Nama

Sintya Alfatika

Di bawah laksana sorotan itu, sudah sangat jelas bahwa hanya seperbagian tubuhnya saja yang dikuliti hidup-hidup oleh kegelapan. Tidak, bahkan ditelan dengan lahap dan hanya satu kali tenggak. Bulan hanya mampu memberinya sedikit asupan akan cahaya, tidak ada lagi selain dirinya. Tidak ada anatomi makhluk lain, tetap saja bulat, dan hanya cahaya. Lolongan serigala buas memang tidak ada dan tidak menggigitnya, tetapi ia telanjur terluka. Seperbagian tubuhnya dikuliti oleh kegelapan, lalu ditenggak, si bulan pun tak mampu meraih tangannya dan menolong bantuan apapun; terkecuali memberi sedikit titik terang, hingga imajinasi serigala yang sama sekali tidak ada.

Tetapi udara masih berbaik hati memberinya kuasa. Begitu juga dengan lingkar hitam di bawah matanya, pertanda ia tidak berkawan baik dengan jam tidurnya. Bagaimana ia akan terlelap jika segudang realita terlalu mencekik untuk diterima?

Kalau saja mati dan kematian dapat diindahkan, mungkin saja ia akan mati dan menjalani kematian dengan segera. Tapi tidak baginya. Ia masih merasa bahwa mati itu hina, meskipun dirinya merasa lebih hina dari kematian. Lantas apa yang harus dilakukan? Apakah masih sudi untuk tetap menelan beban? Persetan!

Sesekali ia menikmati rasa sesal yang terpaku sangat dalam di hatinya. Sesekali pula ia menerka pertanyaan: untuk apa ia dilahirkan jika selalu bergelut dengan sejuta problema. Sesekali juga ia menyangkal bahwa hidup tak sesederhana seperti makna dari kata sederhana yang sebenarnya.

Ia sangat haus karena sudah dua hari satu malam tidak minum. Hausnya sangat buas namun tak berdaya melakukan apa-apa. Hanya ludah yang masuk ke jalur kerongkongannya, melewati lambung, usus, hingga berujung pada anus. Sejujurnya, ludahnya saja berterus terang bahwa bakteri pun tak sudi untuk tinggal di rahang mulutnya. Persepsinya mengenai dirinya sendiri sudah jelas, ia merasa lebih hina dari seseorang yang berengsek, bejat, perampok, pembobol bank, ataupun sesorang yang tega mengaborsi anaknya dan membuang mayatnya.

Tepat di hadapannya segala jenis pisau khusus terbaring rapi dengan dompetnya. Ia bukan seorang ahli cukur, bukan penjual daging, bukan pula seorang dokter ataupun ahli bedah. Pisau-pisau nya masih steril, tapi tidak se-steril dua hari satu malam yang lalu, Pisau-pisau yang tidak terlalu steril itu ia dapatkan dari ruang kerja ayahnya ketika si ayah sedang sibuk menenggak dua botol bir sambil bersandar dengan wanita lain. Si ibu melihat ia mengendap-endap membawa pisau-pisau ayahnya tetapi tak juga ditanya untuk apa dan mengapa. Si ibu juga tidak menanyakan: apa yang kau lihat di ruang kerja ayahmu? Sedang apa dia? Apa yang dilakukannya? Dan siapa wanita yang bersamanya? Si ibu juga tidak marah dan memergoki si ayah. 

Ibunya hanya sibuk berdandan, menangis, terdiam, lalu menghapus air matanya, kembali berdandan, menangis, terdiam, lalu menghapus air matanya. Ia sering melihat ibunya melakukan rutinitas itu hampir tiga kali sehari, sama seperti ketika ia sedang menenggak obat-obatan secara diam-diam di dalam kamarnya. Itulah pekerjaan ibunya dirumah. Si ibu memasak untuk terakhir kali ketika ia berusia tiga belas tahun saat sepulang sekolah. Ibunya berhenti memasak, mencuci, menjemur pakaian, dan berhenti menyayanginya karena kelakuan si ayah. Si ibu sudah pensiun menjadi ibu rumah tangga yang baik dan benar. 

Kronologinya cukup sederhana. Saat matanya terbuka lebar sambil memeluk lutut yang masih segar lukanya karena terjatuh di halaman sekolah, ia melihat si ayah dan si ibu bertengkar dan saling lempar. Hingga tetangga mendengar lalu mengetuk pintu sekadar bertanya kabar. Lalu si ayah dan si ibu berpencar. Dan si ayah berkata kepada tetangga yang datang dengan alasan konsletnya sakelar. Si ayah yang pintar!

Sejak saat itu dunianya berubah. Sama seperti mata si ibu yang berpaling terhadap kiblat keluarganya dan seperti mata si ayah yang terbelalak akibat mabuk yang mengundang amarah. Begitu juga nasibnya yang kian lama tak terarah.

Kali ini ia tidak pulang ke rumah. Ia benar-benar tidak ingin pulang ke rumah. Sudah dua hari satu malam. Lelah lah yang mengantarnya bermalam di sudut ini. Si ayah dan si ibu sibuk dengan hati yang tak lagi searah sehingga mengabaikan rasa resah karena anaknya tak kunjung balik ke rumah. Kalau pun ia pulang maka ia hanya mendapatkan kekosongan kasih sayang seorang ibu dan mata merah milik ayahnya selepas mabuk dengan penuh amarah.

Tepat dihadapannya segala jenis pisau khusus terbaring rapi dengan dompetnya. Ia bukan seorang ahli cukur, bukan penjual daging, bukan pula seorang dokter ataupun ahli bedah seperti ayahnya. Pisau-pisau nya masih steril, tapi tidak se-steril dua hari satu malam yang lalu, Pisau-pisau yang tidak terlalu steril itu ia dapatkan dari ruang kerja ayahnya. Akan ia apakan pisau-pisau ayahnya? Ia kembali menerka satu pertanyaan: jika mati dan kematian dapat diindahkan, apakah sudi untuk tetap hidup dan menghapus dosa sendiri: kemudian menyelam sembari menelan beban?

Di bawah laksana sorotan itu, sudah sangat jelas bahwa hanya seperbagian tubuhnya saja yang dikuliti hidup-hidup oleh kegelapan. Tidak, bahkan ditelan dengan lahap dan hanya satu kali tenggak. Bulan hanya mampu memberinya sedikit asupan akan cahaya, tidak ada lagi selain dirinya.

Dan di bawah laksana sorotan itu, sudah sangat jelas bahwa seperbagian tubuhnya dikuliti hidup-hidup oleh kegelapan, bukan dikuliti oleh dirinya sendiri dengan pisau-pisau yang tidak terlalu steril itu semenjak dua hari satu malam lalu.

Ini adalah cerita dirinya. Ia, si tanpa nama.

Share:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Space Iklan Disewakan