Kosmopolitan.id, Samarinda – Proses pencairan bantuan untuk warga terdampak BBM oplosan masih menyisakan sejumlah persoalan di lapangan. Meski sudah ada 60 warga yang berhasil menerima bantuan berupa uang tunai Rp 300 ribu pada Senin (14/4/2025), kini Pemkot Samarinda tetap membuka layanan bantuan tersebut yang diperpanjang hingga Selasa (15/4/2025) tidak sedikit warga lainnya yang justru merasa terhambat karena prosedur yang makin ketat.
Pembatasan jumlah berkas yang diproses tiap hari hanya 60 per hari—dilakukan pihak kecamatan dengan alasan adanya dugaan penggunaan nota fiktif. Namun, bagi warga yang sedang berjuang memenuhi syarat administratif, langkah ini dianggap sebagai penghambat, bukan solusi.
“Kami sudah berusaha urus semuanya, tapi sampai sana malah dibilang kuota sudah penuh. Harus nunggu besok lagi,” keluh salah seorang warga di Kelurahan Air Hitam yang enggan disebutkan namanya.
Camat Samarinda Ulu, Sujono, menegaskan pihaknya harus menyeleksi berkas lebih ketat demi menghindari penyalahgunaan bantuan. Termasuk dengan turun langsung ke bengkel untuk memastikan keaslian nota.
“Karena ini menggunakan ABPD, jadi kami harus hati-hati,” ujarnya.
Namun, kebijakan ini berimbas pada warga yang tak selalu tahu bengkel mana yang diakui atau tidak. Belum lagi soal kejelasan informasi yang dinilai masih minim. Beberapa warga bahkan mengaku harus bolak-balik hanya karena kurang satu dokumen atau keliru soal tanggal kerusakan.
Hal serupa juga terjadi di Kecamatan Sungai Pinang. Pos pengaduan sempat ditutup lebih awal dari jadwal, memicu kekecewaan warga. Mereka merasa tak diberi waktu cukup untuk menyerahkan berkas.
Menanggapi itu, Plt Camat Sungai Pinang, Muhammad Joni, menyebut penutupan pos pengaduan disesuaikan dengan jadwal pengecekan ke lapangan.
“Kalau kami turun jam 11, maka pengaduan harus kami tutup jam segitu. Kami juga harus verifikasi data langsung ke bengkel,” jelasnya.
Namun, Joni tak menampik bahwa jumlah personel yang terbatas membuat proses verifikasi tidak bisa dilakukan serentak. “Kemampuan kami terbatas. Kalau harus ke lapangan dengan 60 data, prosesnya cukup membutuhkan waktu,” terangnya.
Di tengah kerumitan tersebut, sebagian warga memilih tetap mengikuti prosedur dengan harapan bantuan bisa cair. Masdani, warga Jalan Pangeran Suryanata, termasuk yang berhasil mengajukan berkas tanpa kendala berarti.
“Memang diminta lengkap, tapi menurut saya masih wajar. Namanya juga bantuan, kita ikut saja prosesnya,” katanya.
Kendati begitu, suara-suara lain tetap menyeruak—mendesak agar pemerintah lebih transparan soal mekanisme seleksi dan memperluas waktu pelayanan. Warga berharap bantuan yang dijanjikan tidak hanya tersalur tepat sasaran, tapi juga tak mengabaikan keadilan dalam aksesnya. (Redaksi)